Mungkin kamu sering mendengar buku Filosofi Teras ya. Karena nggak jarang buku ini selalu duduk manis di bagian rak best seller kalau lagi main ke toko buku. Atau selalu nongol di feed sosial media kamu yang ngebahas buku yang satu ini.
Emangnya buku ini ngebahas apa sih? Terus kok ada filosofi filosofi-nya gitu di judulnya? Berat nggak sih baca ini? Genrenya apa ya? Kenapa sih buku ini sampai ngehype, bahkan sekarang sudah masuk cetakan yang ke 30-an!
Di blog kali ini aku mau membahas nih isi dari buku Filosofi Teras beserta apa yang aku dapatkan dari buku yang satu ini. Simak terus blognya untuk tahu impresiku terhadap buku yang ini ya!
Buku ini terbagi menjadi 13 bab dan dilengkapi dengan Kata Pengantar dan juga Catatan Pandemi. Buku yang aku dapatkan ini cetakan ke-38 yang diterbitkan pada bulan Mei 2022.
Langsung saja kita bahas deh satu per satu isi dari masing-masing babnya.
Kita akan mulai dulu nih dari Kata Pengantarnya. Kata Pengantar ngapain dibahas!? Mungkin kamu sering meremehkan kata pengantar tapi kata pengantar di buku ini cukup memberikan kita sepercik insight terhadap isi dari bukunya.
Yang pertama di sini ada kata pengantar dari penulisnya langsung dan juga ada catatan dari Dr. A. Setyo Wibowo. Bagian Kata Pengantar ini juga dilengkapi dengan konsep hal-hal yang bergantung pada kita atau apa yang kita kontrol, demi menemukan kebahagiaan itu sendiri. dan diakhiri dengan opini beliau tentang kondisi politik di indonesia yang dikaitkan dengan stoisisme.
Bab 1: Kita akan mulai dari bab pertama yang menjabarkan survei yang dilakukan penulis yang berjudul "Survei Khawatir Nasional", dengan jumlah relawan sebanyak 3634 responden. Kesimpulan dari survei ini adalah 63% orang merasa cukup khawatir atau sangat khawatir sementara 30% orang merasa cukup tidak khawatir atau sangat tidak khawatir.
Peduli amat ngurusin orang lain? Justru dari survei ini membuka lebih banyak topik yang akan dijabarkan dari buku ini lho! Penulis juga menjelaskan bahwa khawatir berlebihan akan merugikan kita, sebab itu ngabisin energi, waktu, dan juga bisa mempengaruhi fisik tubuh kita juga lho.
Bab ini juga disertai wawancara dengan salah satu psikiater yang menyangkut topik kekhawatiran dan juga penjelasan medis dan konkret mengenai hubungan tekanan psikis dan kondisi fisik tubuh. Serta menjabarkan perbedaan cemas, khawatir, dan depresi yang disertai beberapa tanda-tanda kecil orang mengalami gejala yang disebutkan. Contohnya seperti menganggap bahwa hidup tidak ada perubahan.
Bab 2: Mungkin kamu sudah nggak asing sama seni berpikir positif alias positive thinking. Namun berdasarkan riset beberapa ahli, mereka menyatakan bahwa berpikir hanya positif atau berpikir hanya negatif tidak akan membantu apa-apa. Penulis justru menemukan satu metode yaitu mental contrasting, yaitu penggabungan sikap pesimis dan melihat kemungkinan baik sekaligus, yang dianggap lebih meminimalisir perasaan kecewa karena tidak adanya lambungan ekspektasi.
Kemudian dilanjutkan dengan asal-usul penamaan Filosofi Teras yang menjadi judul buku ini, yang berawal dari seseorang yang belajar filsafat kemudian mengajarkan ajarannya pada orang-orang di teras bangunan yang disebut stoa. Sehingga bahasa filosofi stoa disederhanakan menjadi filosofi teras. Dan yang terakhir, bab ini menjelaskan tujuan utama dari pembentukan filosofi teras itu sendiri.
Bab 3: Bab ini mengajarkan untuk memegang prinsip hidup selaras dengan alam, yang menjadi cara kita membalas kebaikan alam yang sudah memberikan kita fitur unik berupa nalar. Sehingga hidup selaras dengan alam adalah penggunaan nalar bahkan di saat-saat tertentu, dan mengesampingkan emosi semata karena "kesulut". Dan juga selain menggunakan nalar, diharapkan kita juga memiliki jiwa sosial.
Hal ini juga diperkuat dengan konsep mata rantai. Di mana semua peristiwa yang terjadi kepada kita adalah bagian kecil dari mata rantai yang menyatukan segala peristiwa yang makin besar dan luas cakupannya. Artinya kita memang menjadi bagian dari rantai kehidupan tersebut.
Bab 4: Kalau kamu pernah mendengar konsep dikotomi kendali, di bab inilah hal tersebut muncul dan akan menjadi pedoman atau pegangan mengenai isi buku ini ke depan-depannya. Singkatnya dikotomi kendali yaitu mengenali apa yang menjadi kendali kita dan apa yang tidak menjadi kendali kita. Dengan memperbanyak melakukan hal yang di bawah kendali kita akan meningkatkan kebahagiaan. dan berprinsip dikotomi kendali bukan berarti pasrah kepada nasib.
William Irvine mengembangkan konsep dikotomi kendali menjadi trikotomi kendali, yaitu tambahan hal yang sebagian berada di bawah kendali kita. artinya kita masih bisa memperjuangkan proses daripada menentukan hasil.
Intinya dengan mengetahui dan menjalankan apa yang bisa kita kendalikan akan membawa kebahagiaan karena kita tidak terjerat dengan faktor eksternal, yang di sini digambarkan sebagai budak. Bab ini juga menjelaskan mengenai hubungan manusia dan juga benda-benda yang sering dianggap sebagai faktor penentu peningkatan kualitas diri, yang mana bukan hal yang berada di bawah kendali kita. Hal yang di luar kendali kita harus selalu diingat bahwa sewaktu-waktu dapat direnggut dan tidak bertahan lama.
Bab 5: Di bab ini kita akan sedikit bermain-main dengan pikiran kita yang akan membawakan kita pada dua kondisi sudut pandang, yaitu interpretasi dan representasi. Terkadang apa yang kita ketahui dengan apa yang menjadi respon kita menjadi dua hal yang berbeda, yang akan menentukan bagaimana kita memandang suatu kejadian.
Di dalam bab ini dijelaskan bahwa tidak semua hal baik harus dibalas dengan kebaikan pula, karena balasan adalah hal di luar kendali. Dengan demikian diharapkan kita lebih bisa merespon suatu timbal balik dengan lebih "terbuka" dan tidak merasakan ganjalan.
Juga ada sebutan interpretasi otomatis yaitu pemikiran yang spontan muncul ketika kita dihadapkan dengan hal yang sekiranya dapat memicu emosi negatif. Ada teknik yang disebut S-T-A-R, yang mencangkup:
1. Stop = hentikan pemikiran buruk dengan segera.
2. Think and asses = memikir dan menilai kejadian di depan kita dan mencoba mencari alternatif apa yang sekiranya bisa dilakukan dalam situasi tersebut.
3. Respond = melakukan apa yang sekiranya bisa mengurangi emosi negatif tersebut
Dengan adanya metode S-T-A-R ini diharapkan kita lebih bijak mengontrol reaksi dan mencoba menelaah apa yang ada di depan kita. juga mengurangi pikiran buruk yang berdampak pada kekhawatiran, apalagi kekhawatiran terhadap hal-hal yang belum terjadi sama sekali.
Di akhir bab juga diselipkan wawancara dengan psikolog yang membahas mengenai kekhawatiran dan bagaimana beliau mencoba menerapkan dengan metode pendekatan penggunaan CBT.
Bab 6: Bab ini menghadirkan konsep yang unik bernama Premeditatio Malorum, yaitu kecenderungan untuk memikirkan beberapa hal terburuk sekalipun untuk mengawali hari, yang digunakan untuk mengantisipasi terjadinya sesuatu buruk yang mungkin akan terjadi. Jika peristiwa buruk benar-benar terjadi, setidaknya mental kita sudah merasa bahwa ada persiapan daripada tidak ada sama sekali, yang akan membuat kekecewaan meningkat.
Dengan menggunakan pendekatan Premeditatio Malorum kita akan lebih bisa memanage apa yang kita miliki dan berteguh hati dan yakin bahwa suatu hari nanti semua yang kita miliki pasti akan diambil kembali, jadi kita tidak akan kaget ketika hal itu benar-benar terjadi. Dan kita bisa lebih lapang memberikan daripada kita merasa dalam kondisi terpaksa.
Selain itu ada istilah Amor Fati, di mana kita harus fokus terhadap segala masa terutama menerima masa lalu yang tidak mengenakkan. Pendekatan ini lebih kepada mencintai peristiwa buruk, dan menjadikan peristiwa buruk sebagai kesempatan untuk belajar, dan juga menerapkan sistem S-T-A-R tadi. Konsep ini membuat kita memikirkan bahwa kejadian buruk tidak selalu dan hanya menimpa kita. Dari kejadian buruk kita bisa membayangkan ada orang di luar sana yang lebih parah dari kita.
Di akhir bab juga ada wawancara dengan salah seorang enterpreneur yang membagikan kisahnya memasuki dunia stoisisme dan bagaimana penerapannya dalam kehidupannya yang menurutku cukup berat masalahnya. Beliau juga merekomendasikan buku tentang stoisisme, salah satunya yaitu Meditations yang ditulis Marcus Aurelius.
Bab 7: Bab ini menjabarkan kehidupan manusia yang memang sebagai makhluk sosial yang pastinya dikelilingi beragam sifat orang-orang, termasuk orang yang tergolong menyebalkan. Terkadang sikap orang sejenis ini akan membuat kita merasa tersinggung, padahal di sini dijelaskan bahwa rasa tersinggung itu ada dalam kendali kita sehingga itu tergantung dari cara kita menyikapinya.
Di sini dijelaskan bahwa mungkin lawan bicara kita mengalami kondisi ketidaktahuan sehingga membuatnya memiliki interpretasi begitu. Hal yang disarankan adalah tetap berbuat baik karena akan membuat lawan bicara tidak menyangka, dan lama kelamaan akan mulai menyadari bahwa yang dilakukannya adalah kesalahan.
Refleksi diri juga perlu karena bisa jadi kitalah yang sebenarnya salah. hindari beberapa hal yang sekiranya membuat kita mempunyai kesempatan mencari celah kesalahan orang lain, karena kemarahan akan membuat kita tampak "gila" secara sementara.
Meskipun kita sebagai makhluk sosial, kita tetap perlu merasa mereduksi beberapa orang yang memang menghalangi jalan kita. Karena meladeni orang seperti ini hanya akan membuat kita kehilangan tenaga dan waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk melakukan hal lain.
Di akhir bab juga ada wawancara dengan seorang editor yang cukup menginspirasiku. Beliau berbagi pengalamannya menggunakan stoisisme sebagai pendekatan saat terjadinya worst case. Yang membuat masalah rumit menurutnya adalah bagaimana pikiran kita terhadap masalah itu sendiri. Dan selalu berusaha menempatkan diri kita dalam keadaan tenang dalam first place, serta mencoba mengulik hal buruk yang dapat dijadikan kesempatan untuk berdialog positif.
Bab 8: Bisa kubilang bab ini sebagai gabungan antara bab 4 dan bab 6 yang lebih spesifik lagi membahas mengenai peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai cobaan, atau musibah. Musibah datang selayaknya hukum alam, tinggal bagaimana saja kita menyikapinya. Memang merelakan apa yang dihilangkan itu tidak mudah namun dengan begitu kita bisa tahu bahwa akan ada masanya hidup tidak selalu berada di zona nyaman kita.
Lagi-lagi dibahas mengenai memikirkan worst case yang mana di sini disebutnya sebagai latihan kemiskinan. Seolah membuat kita bertolak belakang dengan kondisi kita saat ini, yang secara tidak sadar hal ini akan membuat kita juga lebih menysukuri tentang apa yang kita miliki sekarang. Dalam menghadapi masalah, kita sebisa mungkin lebih difokuskan pada pertahanan kita sehingga lawan kita akan lelah dengan sendirinya. Energi pun akan lebih efisien.
Bab 9: Bab 9 ini akan cocok buat kamu yang sekarang menjadi orang tua atau calon-calon orang tua nih, karena memang membahas sedikit mengenai masalah parenting dengan pendekatan stoisisme. Meskipun aku bisa dibilang jauh dari fase menjadi orang tua, aku bisa bilang bab ini cukup memberiku
banyak insight dan beberapa pemikiran-pemikiran yang cukup mindblowing.
Kita juga diingatkan bahwa segala sesuatu yang akan terjadi yang menyangkut anak itu sudah di luar kendali kita, dan yang bisa dilakukan yang masih berada di dalam kendali adalah memberi fasilitas yang bisa kita berikan. Karena mungkin kebanyakan orang tua berpikir: sudah memberi fasilitas yang wow, ya anak harus membalas dengan nggak kalah wow. Kalau kata penulis itu berarti kita masih terjerat sama hal yang di luar kendali kita dan lebih mengharapkan result daripada inner goal.
Di sini juga ada konsep fixed and growth mindset nih, salah satu topik yang cukup menarik dan mungkin penulis juga mengambil referensinya dari judul buku mindset ya yang jujur aku lupa penulisnya siapa.
Di akhir bab juga mendatangkan psikolog pendidikan yang memang menggeluti bidang parenting. Aan bagian wawancara dengan beliau bener-bener bikin aku melongo dan wow, pemikiran yang sangat jarang dan setelah baca bikin aku ngomong "iya juga ya". Kamu bisa baca sendiri di bagian ini untuk dapetin insight-insight kecil tentang wawancara dengan beliau.
Bab 10: Bab 10 ini masih berkaitan dengan dikotomi kendali dan hidup selaras dengan alam, namun cakupannya lebih luas lagi. Bab ini lebih mengutamakan kebersamaan atau jiwa sosial dari masing-masing orang. Penulis di sini mengutip salah satu pemikiran filsuf yaitu Hierocles. Ajaran filsuf ini lebih kepada melebarkan lingkup dan relasi sosial kita, dan membayangkan bahwa kita sendiri ada di tengahnya.
Sebagai contoh lingkup terkecil kita adalah keluarga, kemudian merambah ke perumahan, kecamatan, kota, kabupaten, dan seterusnya hingga benar-benar menjadi satu kesatuan dengan dunia. Maksudnya berjiwa sosial itu bukan dihalang-halangi faktor yang tampaknya pembeda alias ilusi.
Hal ini kemudian merambah dari konsep yang awalnya mengontrol apa yang tidak dapat kita kendalikan, menjadi menontrol apa yang dapat kita lakukan. Karena ada cukup banyak hal yang sebenarnya kalau hanya dilakukan 1 orang nggak akan ngaruh, tapi jika dilakukan 1000 orang baru terasa. Dan yang merasakan bisa lebih dari 1000 orang itu.
Bab 11: Isi bab ini mungkin sedikit creepy buat sebagian orang dan penulis juga berkata pada awalnya hal tersebut memang berkonotasi demikian, yaitu: kematian. Konsep kematian di sini digambarkan penulis sebagai hal yang memang "wajar" terjadi dan normal untuk terjadi, selayaknya kelahiran kita. Lagi-lagi balik ke hidup selaras dengan alam. Ketika kita terlalu menghindari kematian artinya kita melanggar hukum alam. tapi bukan berarti kita bunuh diri berharap mati cepet biar selaras dengan alam ya! Hahaha.
Bab ini juga bermakna bahwa hidup itu bukan sekadar kuantitas tapi kualitas. Ya semacam ajaran-ajaran yang sering kita dengar ya kan? Dan di sini meskipun meningkatkan kualitas hidup, bukan berarti semasa hidup kita harus sibuk membuat tenar diri kita biar ceritanya dikenang gitu.
Bab 12: Di sini menjabarkan penutup dari buku ini sesuai dengan judul babnya. Di sini penulis hanya mengutarakan bahwa percuma saja kita membaca ribuan buku jika tidak diterapkan. Apalagi buku ini membahas tentang filosofi yang praktikal ya, jadi dengan sedikit demi sedikit mengimplementasikan ke kehidupan pasti ada dampaknya.
Aku pribadi juga mencoba untuk mempraktikan meskipun awalnya susah. Tapi beberapa tuh ada yang cukup ngena dan coba-coba aku ingat kembali. Konsep di dalam buku ini memang sederhana dan hampir bisa direlasikan dengan banyak kondisi.
Bab 13: Kalau kamu membeli buku ini pada masa awal-awal terbit mungkin ini akan menjadi bab terakhir kali ya. Dan nggak banyak sih yang terkandung di dalam bab ini, hanya semacam rangkuman mengenai buku ini secara keseluruhan dan contoh yang dikasih penulis untuk memberikan kita gambaran tentang stoisisme di kehidupan sehari-hari.
Sekarang aku mau membahas buku ini secara keseluruhan. Overall aku suka karena bahasanya ringan dan meskipun filsafat gitu ya, tapi tetep ngena ke pembaca dan aku jadi mulai tertarik untuk membaca buku-buku lain dengan tema serupa. salah satunya meditations yang jadi TBR ku juga di bulan ini.
Sementara untuk kekurangannya, mungkin karena memang konsep yang dipakai hanya dikotomi kendali dan hidup selaras dengan alam, jadi hampir di semua bab kita akan ketemu lagi sama konsep utama ini. at some point mungkin aku terasa bosan ya, kayak "ini lagi ini lagi". Tapi kalau nggak ada kedua hal itu justru pengembangan di tiap bidangnya tuh malah gak ada.
So karenanya untuk penilaian akhir aku mau kasih 4,5 dari 5 bintang untuk buku yang ini. Salah satu buku yang aku rekomendasikan untuk semua orang baca. Mungkin anak-anak SMP akhir menurut aku sudah bisa nih untuk icip-icip tulisan yang ada di buku ini.
Oke itu tadi adalah review panjangku dari buku Filosofi Teras karyanya Henry Manampiring ini. Buat kamu yang sudah baca sampai bawah sini aku ucapin terima kasih banyak ya! Aku akhiri dulu sampai sini blognya dan kita akan ketemu lagi di review-review selanjutnya. Dadah!~
Komentar
Posting Komentar