Di sini ada yang sudah nonton film Gadis Kretek nggak, baik secara online maupun offline? Aku sendiri sebenarnya kurang suka menonton film, apalagi kalau tahu film itu diadaptasi dari buku. Aku selalu merasa untuk harus baca bukunya dulu sebelum nonton filmnya, ada yang sama nggak sih?
Dan itu pula yang aku lakukan di bulan ini, aku membaca novel Gadis Kretek yang ditulis oleh Ratih Kumala. Setelah ngebaca, aku jadi tahu kenapa novel ini juga nge-hype banget beberapa tahun terakhir, bahkan sampai diangkat ke layar lebar.
So di blog kali ini aku mau share mengenai impresiku terhadap novel Gadis Kretek ini. Penasaran? Langsung saja yuk kita mulai ke reviewnya!
Novel ini bercerita tentang seorang pria tua bernama Raja, pemilik merek kretek terkenal saat ini, yang sudah mulai sakit-sakitan. Di kesempatan terakhirnya, ketiga anaknya berusaha untuk membantu dan memenuhi keinginan terakhir sang ayah.
Namun betapa terkejutnya mereka betiga ketika sang ayah mengucapkan satu nama: Jeng Yah. Nama itu bukanlah nama istrinya. Bingung karena sang ayah sering memanggil-manggil nama tersebut, ketiga anaknya memutuskan untuk mencari dan menemui Jeng Yah.
Dan di tengah-tengah perjalanan mencari sosok itu, kisah masa lalu ayah dan ibu mereka dulu mulai terungkap perlahan. Menunjukkan sosok sebenarnya dari ayah mereka, ibu mereka, dan "teman lama" ayah mereka.
Emangnya apa yang terjadi di masa lalu? Nah kamu bisa baca sendiri di novelnya untuk lebih jelasnya ya!
Sekarang aku mau bahas narasi di novel ini. Novel ini dikisahkan dari sudut pandang orang pertama dari sudut pandang Lebas, anak ketiga atau anak bungsu dari Pak Raja. Mungkin karena faktor Lebas adalah anak terakhir, sering kali tingkahnya cukup kekanak-kanakan di mata kakak-kakaknya. Bertengkar dengan kakak sulungnya adalah hal biasa yang sudah menjadi makanannya sehari-hari.
Namun selain mengikuti dari POV Lebas, kita akan mengikuti sudut pandang lain dengan setting tempat dan waktu yang jauh sebelum era kemerdekaan. Di situlah kita akan mulai mengikuti kisah seorang pria bernama Idroes Moeria yang tergila-gila dengan seorang kembang desa bernama Roemaisa.
Untuk alurnya, karena tadi aku bilang kita akan mengikuti dua kisah yang berbeda, maka alur di sini bergerak secara maju mundur. Tapi uniknya di dalam sini adalah, untuk alur yang ada di masa sekarang dengan alur yang ada di masa lalu, kita akan merasa bahwa tidak ada hubungan yang berarti di dalam novel ini. Karena semuanya tuh bener-bener beda, baik dari tokoh yang diceritakan, setting tempat, setting waktu, sampai hal-hal sederhana seperti kebiasaan orang-orang di dua zaman ini.
Awalnya aku sendiri juga bingung, "Apa hubungan dari dua timeline ini ya?". Aku juga mulai menebak-nebak apakah kita akan menemukan sesuatu yang secara nggak langsung berhubungan di masa kini? Dan ternyata dugaanku itu benar adanya. Novel ini bisa kubilang punya benang merah yang dikemas dan disusun secara apik. Semuanya terasa sudah struktural gitu rasanya. Jadi ketika kita mencapai satu poin, kita tuh kayak dibuat amazed dengan bagaimana penulis mempertemukan dua kepingan puzzle-nya.
Untuk tokoh-tokoh di dalam novel ini ada banyak, apalagi dengan dua timeline yang berbeda dengan dua konsentrasi tokoh yang berbeda pula. Tapi aku bisa bilang kalau penulis cukup sukses membuat karakter tokoh yang ada di dalam sini. Ada tokoh yang nyebelinnya setengah mati yang bikin aku geleng-geleng kepala dan nggak habis pikir, kok bisa tokoh kayak gini "masih ada" gituloh.
Dan juga aku nggak sekali dua kali dibuat kesel dengan keadaan yang menimpa salah satu tokoh, seolah dia inituh menjadi tokoh yang ter-dzolimi, waduh ter-dzolimi nggak tuh, di dalam cerita ini. Tapi itu berarti penulis memang sukses merebut hati dan simpati pembaca di dalam novel yang ini.
Sekarang aku mau bahas hal yang aku suka dari novel ini, yang pertama yaitu bagaimana penulis bisa banget memasukkan unsur kretek sebagai main topic di dalam novel ini. Aku sendiri bukan perokok malah cenderung nggak suka sama rokok dan perokok. Tapi membaca novel ini tuh aku sama sekali nggak merasa "sesek napas" karena membayangkan asap rokok, melainkan bisa mengecap rasa manis dari cengkeh yang dibakar sama wangi kayu.
Ini udah kayak ngegambarin parfum ya, top note nya cengkeh, base note nya kayu, nanti middle note nya wangi saus karamel. Hahaha, tapi emang bener! Ketika membaca novel ini tuh di bayangan aku wangi kretek nya tuh kayak gitu. Bukan yang bikin sesek napas karena baunya yang apek.
Selain itu aku juga suka dengan bagaimana novel ini mempunyai timeline yang cukup membuat pembaca makin penasaran dengan apa yang terjadi. Penulis juga bisa banget lagi memasukkan unsur lokal di dalam novel ini tanpa dilebih-lebihkan atau terasa jadul, kaku, atau maksa. Benar-benar seperti berada di tengah-tengah dua zaman sekaligus.
Lewat novel ini pula aku jadi lebih bisa ngena mengenai apa yang dialami oleh orang-orang di masa penjajahan, pasca Indonesia merdeka, atau bahkan masa-masa G30SPKI. Pokoknya se-lengkap itu ketika kamu baca novel ini!
Sayangnya untuk kekurangan novel ini, aku mau menujukan kepada editornya sih. Karena novel ini udah dicetak ulang berkali-kali, bahkan aku memegang versi cover film, masih banyak typo yang bertebaran di sana-sini yang menurut aku masuk ke kadar mengganggu. Padahal novel ini sudah sering ludes ya, apalagi yang cover warna biru, tapi cukup disayangkan gitu kalau isinya masih "berantakan".
Jadi ini membawaku ke kesimpulan terakhir alias rating, aku mau kasih novel ini 4,5 dari 5 bintang. Aku bisa banget kasih novel ini 5 bintang tapi karena alasan typo tadi, aku sedikit menurunkan kadar rating aku. Dan aku rekomendasikan novel ini buat kamu yang suka baca cerita yang setting tempatnya di Indonesia atau yang mempunyai nilai budaya dan sejarah di dalamnya!
Oke itu tadi adalah reviewku mengenai Gadis Kretek karyanya Ratih Kumala. Kalau kamu ada yang sudah baca atau nonton filmnya kemarin, boleh tulis di kolom komentar opininya ya!
Aku akhiri dulu blognya sampai sini, makasih banyak banget buat yang sudah baca, dan kita akan ketemu lagi di video-video yang selanjutnya. Dadah!~
Komentar
Posting Komentar