Hai-hai! Setelah aku agak lama kayaknya nggak upload review novel lagi, kali ini aku kembali bakalan mengulas salah satu novel yang cukup populer di kalangan book lovers baik di Instagram ataupun Goodreads atau wherever else yang mana suka juga nongol di timeline.
Banyak teman-teman memberikan rating tinggi bahkan sempurna untuk Laut Bercerita karyanya Leila S. Chudori yang bakal aku bahas di kesempatan kali ini, yang acapkali bikin aku nggak habis-habisnya penasaran sama isi ceritanya.
Tapi ternyata setelah aku baca ceritanya? Kok agak-agak nggak sesuai ekspektasi ya..
Jadi daripada penasaran kenapa tuh, simak terus reviewnya yuk!
Laut Bercerita ini bercerita tentang seorang mahasiswa yang bernama Laut yang menjadi anggota semacam perkumpulan atau organisasi kecil-kecilan dari sekelompok mahasiswa yang melabeli diri mereka dengan aktivis. Bagaimana tidak? Karena anggota yan ada dalam perkumpulan itu memiliki jiwa kritis yang menyebabkan mereka ingin meluruskan apa yang terjadi terkait dengan pemerintahan Indonesia pada masa-masa Orde Baru.
Awalnya rencana mereka berjalan mulus-mulus saja, namun satu demi satu letusan penangkapan pun dimulai, membuat mereka berakhir pada sebuah tempat yang terburuk yang dapat mereka bayangkan, meninggalkan orang-orang tercinta.
Tokoh utama kita di sini, Laut, akan bercerita pada kita bagaimana dirinya dan teman-temannya berperan demi melawan sistem pemerintahan yang sangat tidak "manusiawi" pada masanya, dengan berjiwa kritis dan juga bagaimana mereka mementingkan negara mereka di atas segala-galanya.
Dan mereka, para mahasiswa yang bersatu ini, siap menghadapi resiko sebesar apa pun meski kekhawatiran tidak lantas menghilang begitu saja dari kerabat yang ditinggalkannya, dan membuat segores luka baru di hati mereka yang ditinggalkan tanpa ragu untuk menyimpan rasa penyangkalan yang luar biasa besar.
Cie, kenapa aku jadi puitis gini ya? Intinya dari penjabaranku barusan mungkin kamu bisa menebak ya kalau novel ini bergenre historical fiction yang memang mengambil latar tempat di Indonesia pada tahun 1990an sampai tahun 2000, alias pada masa-masa Orde Baru yang mana juga memuat satu peristiwa yang mungkin buat sebagian besar orang masih membekas, yaitu Kerusuhan 98.
Sekarang aku mau mulai ke reviewnya, di sini yang pertama aku akan membahas gaya bercerita dari penulis. Novel ini dibagi menjadi dua bagian yang mana di tiap bagiannya akan bercerita dari sudut padang dua orang tokoh. Tokoh yang pertama tentu saja tokoh Laut yang menjadi tokoh utama kita di sini, sementara penuturan yang lain disampaikan lewat sudut pandang adiknya Laut.
Aku pribadi menikmati bagaimana penulis merangkai kalimatnya dan pemilihan kata-kata yang memang cukup diksionis (emang ada istilah begini, ya?) dan juga di beberapa part cukup melankolis. Aku pernah membaca karya lain dari penulis yaitu Malam Terakhir di tahun 2020 dan memang kutemukan kesamaan dari dua karyanya ini yang cukup sering menyinggung masalah hak asasi manusia, dan itu terlihat jelas dari bagaimana penulisnya merangkai kalimatnya di sini.
Dan juga meskipun kalimatnya indah, selayaknya beberapa novel yang mungkin dapat dikategorikan sebagai novel sastra, novel ini juga di beberapa bagian nggak sungkan-sungkan untuk kasih kalimat yang nyastra banget yang butuh aku beberapa kali untuk baca dan memahami maknanya. Tapi menurutku overall cukup oke. Deskripsi penulis mengenai hampir segala sesuatu di sini juga cukup jelas, seperti: tempat-tempat yang mungkin sekarang bersejarah dan juga bagaimana perasaan tokoh-tokoh di sini digambarkan juga cukup jelas.
Alur novel ini maju mundur yang akan dimulai dari penuturan Laut yang seperti hendak menemui "akhir dari hidupnya", kemudian kita akan berlanjut ke bab 1 di mana menceritakan apa yang terjadi dan melatarbelakangi semua ini hingga kita akan terus mengikuti hingga ke bab-bab selanjutnya. Begitu terus kita akan mengikuti ceritanya bergantian antara masa kini dan masa lalu yang nanti akan membawa kita ke satu benang merah yang saling menghubungkan.
Kalau aku pribadi nggak merasa ada yang masalah dengan perpindahan alurnya karena setiap alurnya hendak berganti, kita akan diberikan penanda yang memudahkan kita memahami ceritanya.
Tokoh-tokoh di novel ini lumayan banyak, atau mungkin bisa kubilang banyak banget kali ya. Mengingat faktor bahwa para mahasiswa yang menjadi aktivis tidak hanya satu dua orang saja tapi benar-benar sekumpulan mahasiswa yang memiliki jiwa nasionalis yang terpendam yang memang seolah menunggu waktu yang tepat untuk meluapkan itu semua.
Tokoh Laut sendiri di sini aku bisa bilang cukup relate denganku. Banyak banget deskripsi mengenai Laut yang mungkin kalau aku mau narsistik cukup mirip denganku, seperti: suka mendekam membaca buku, mencoba resep baru, dan sebagainya dan sebagainya. Mungkin yang nggak mirip adalah bagaimana kenekatan yang dimilikinya yang kadang nggak ada di aku, hahaha.
Di sini aku juga suka bagaimana penulis dapat menggambarkan berbagai macam variasi sifat tokoh-tokoh di sini yang memang membuat ceritanya tampak ramai dan hidup, meskipun terkadang beberapa sifat tokoh di sini sangat bisa menjengkelkan atau cukup membuat kita marah karena satu tokoh yang bisa dikatakan sebagai pengkhianat. Tapi aku nggak perlu cerita lah ya siapa si tokoh itu, biar kamu menemukan kejutan tersendiri waktu membaca novelnya.
Sekarang aku mau bahas hal yang aku suka di sini. Yang pertama bagaimana penulis mampu membawakan ceritanya dan menuturkan suasana pada masa itu, seolah-olah kita memang berada di masa itu. Lewat penuturan itu pula aku jadi tahu bagaimana sih kondisi masyarakat pada saat itu yang memang cukup gempar-gemparnya. Bahkan di sini aku sedikit tertarik karena mengetahui ternyata ada juga kasus-kasus buku terlarang di rentang tahun tersebut.
Aku juga suka bagaimana penulis sepertinya mempunyai passion di bidang mendeskripsikan makanan, karena di sini kentara banget bagaimana penulis dapat menuliskan legitnya sebuah rasa makanan dan juga langkah membuat makanan ala Laut di sini. Mungkin kalau aku nggak mager bakalan cobain resep yang disampaikan, membuktikan kenikmatannya itu.
Sementara untuk hal yang kurang kusuka, mungkin ini preferensi aja sih yang mana memang sesuai dengan label 18+ di bagian belakang novelnya, yaitu munculnya adegan romance yang nggak terduga yang mana cukup intens. Faktor tokoh-tokoh di sini yang rata-rata sudah 20 tahun ke atas nggak jarang membuat adegan romance yang "lebih" itu muncul di dalam novel ini. Tapi aku merasa hal itu agak sedikit tidak cocok dengan bagaimana keadaan di sekitar mereka berlangsung, seolah mereka mencari kesempatan di antara kesempitan.
Selain itu terkait dengan deskripsi makanan yang tadi kusinggung. Meskipun aku cukup enjoy, sayangnya penulis sepertinya menggebu-gebu memberikan narasi tentang makanan itu yang jatohnya kebanyakan dan memendam rasa sedih pada cerita ini, yang suka digadang teman-teman. Jadi mungkin kalian kebayang ya, suasananya sedih tapi kalian justru dibuat lapar sama narasi tersebut, yang memang nggak jarang jadinya memendam unsur-unsur menarik pada ceritanya. Selain itu menurutku narasi makanan (jika terlalu banyak) jadi nggak match dengan konsep cerita secara keseluruhan.
Hal terakhir yang bikin aku kecewa adalah bagaiamana iming-iming novel ini yang sering kudengar. Entah mungkin karena faktor ekspektasi yang terlalu tinggi pada novel ini sebelum kubaca. Meskipun aku sudah berusaha sama sekali tidak baca blurb atau cari tahu review tentang novel ini, bagaimana teman-teman memberinya rating tinggi cukup membuatku menaruh harapan yang tinggi juga. Terlebih nggak jarang banyak orang yang kasih tahu kalau novel ini membuat mereka menangis. But for me, aku nggak merasa ada adegan yang sebegitu terharunya. Ada sih, tapi itu pun di bagian kedua dari sudut pandang adik Laut dan itu pun sebenarnya hanya sekali muncul. Jadi aku bingung nih, mana hal yang bikin mereka nangis kejer itu mana? Aku hati batu? Maybe. Tapi memang itu yang aku rasakan.
Hal ini membawaku ke pertimbangan selanjutnya yaitu rating untuk novel ini secara keseluruhan. Aku kasih rating 4 dari 5 bintang untuk novel yang di luar ekspektasi dan nggak sesuai ekspektasi ini. Bukan perkara hal yang bikin sedih yang bikin aku kasih rating 4, tapi karena faktor lain yang sudah kusebutkan. Novel ini memang lumayan berat topiknya jadi mungkin bisa ditimbang-timbang dulu sebelum dibaca. Tapi untuk ukuran novel sastra, boleh lah dicoba untuk dinikmati keindahan yang ditawarkan meskipun ceritanya lumayan abu-abu dan kelam.
Oke itu tadi adalah reviewku mengenai novel Laut Bercerita. Apakah kalian tim nangis kejer atau malah kayak aku yang kayaknya biasa aja deh, bisa kasih tahu di kolom komentar di bawah ya! Dan bagaimana juga menurutmu tentang novel ini? Worth the hype nggak? Kasih tahu juga di kolom komentar. Segini dulu reviewku, makasih banyak banget buat yang sudah baca, dan kita ketemu lagi di blog selanjutnya. Dadah!~
Komentar
Posting Komentar