Di tahun 2019 aku pernah membaca dua judul dari Triskaidekaman, dan semenjak itu aku jadi suka dengan tulisannya. Tulisannya memang indah, diksinya sangat puitis, dan tema-tema yang disajikan nggak jarang cukup bikin mengerutkan kening. Sampai akhirnya di bulan ini aku punya kesempatan lagi nih untuk bahas novel dari Triskaidekaman yang akan aku buat reviewnya kali ini.
Di kesempatan kali ini aku mau review novel CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E. Novel yang ini sudah cukup lama jadi wishlist aku, sejak tahun 2020. Dan membaca review novel ini di Goodreads cukup banyak reaksi yang ditimbulkan ya, rupa-rupanya. So jelas aku jadi tergelitik untuk beli dan baca judul yang satu ini.
Oke deh tanpa berlama-lama lagi langsung saja kita mulai yuk ke reviewnya!
Terlebih pisang terkadang selalu dijadikan icon lain untuk sesuatu yang "dewasa", dan melihat cover ini secara keseluruhan mungkin akan menimbulkan spekulasi yang bermacam-macam. Eits, tapi jangan salah. Novel ini justru jauh dari itu semua.
Bercerita tentang seorang dikator baru di sebuah tempat bernama Wiranacita, yaitu Zaliman Yang Mulia, yang mengeluarkan maklumat mengenai larangan penggunaan huruf E dalam segala aspek. Akibatnya, banyak buku, lagu, nama jalan, nama orang, dan segala macam aktivitas lisan harus diubah, demi hilangnya huruf itu.
Ternyata seiring berjalannya waktu, masa lalu yang suram dan kelam mulai mencoba menampakkan dirinya. Dan salah satu tokoh di sini, berniat untuk membongkar rahasia besar tersebut.
Kedengarannya mungkin kasih kurang greget ya. Oke oke, aku bakalan bahas banyak lagi nih di reviewnya. Langsung saja~
Di sini yang pertama aku mau bahas tentang narasinya. Novel ini dituturkan dari cukup banyak sudut pandang. Ada yang menggunakan sudut pandang orang pertama dan ada yang menggunakan sudut pandang orang ketiga. Untuk POV orang pertama di sini kita akan mengikuti cerita ini dari sosok bernama Lamin, seorang rakyat biasa yang mau nggak mau juga harus menuruti maklumat terbaru dari Zaliman Yang Mulia. Sementara untuk POV orang ketiga di sini sangat bervariasi, kita akan mengikuti kisah dari banyak tokoh, termasuk kisah hidup Zaliman Yang Mulia.
Narasi di sini bener-bener khas dari Triskaidekaman, yang mana banyak menggunakan diksi-diksi indah. Atau kalau boleh aku definisikan, diksi yang dipilih oleh penulis bener-bener KBBI-able, hahaha. Karena yang pertama, tentu saja dengan tagline novel ini yang menghilangkan huruf E sepenuhnya, banyak kata-kata yang terpaksa harus dipakai dengan sinonimnya, yang kuyakin masih banyak yang asing.
Terlebih beberapa kata kerja yang sebenernya sering pakai kata me- juga harus dihapuskan dari sini, sehingga kata kerja di sini sering kali terlihat aneh karena mau nggak mau penulisan buku ini beneran harus seperti itu. Jadi seolah kita juga menjadi bagian dari Wiranacita yang ceritanya, huruf E benar-benar musnah dari dunia.
Selain dari narasi yang diceritakan dengan indah, aku akui alur di novel ini juga cukup memegang peranan penting, lho. Karena menurutku bagaimana alurnya bergerak di sini dari satu timeline ke timeline lain juga cukup bikin ceritanya lebih hidup. Alurnya sendiri bergerak maju dan mundur. Jadi di sini kita akan diperlihatkan dulu nih mengenai apa yang terjadi di masa sekarang, kemudian di beberapa bab selanjutnya kamu akan menemukan cerita yang bersetting di tahun 1990.
Awalnya ya aku nggak berharap banyak dengan perubahan alur seperti itu. Atau lebih tepatnya nggak sadar sih. Tapi aku mulai banyak tahu dan paham ketika seiring berjalannya cerita, plot twist-plot twist mulai bermunculan. Hal-hal janggal yang kita temui di kejadian masa kini ternyata ada jawabannya di kejadian masa yang lalu, dan itu cukup sering bikin aku melongo.
Ceritanya bermula ketika Zaliman Yang Mulia mengeluarkan sebuah maklumat yang melarang nama-nama "kotor, jorok, dan terlarang" bagi rakyatnya, yang tentu saja menimbulkan sebuah keluhan besar. Namun tidak ada yang bisa membantah selain menuruti maklumat itu. Dan kemudian mulailah muncul maklumat kedua yang melarang penggunaan huruf E, dengan sanksi yang tidak main-main yaitu tembak mati jika masih ketahuan melanggar hingga 3x.
Untuk tokoh-tokoh di sini sebenarnya ada banyak banget, cuma yang mau aku highlight di sini adalah Lamin, secara dia bisa kubilang juga sebagai tokoh utama, mengingat POV orang pertama diambil dari sudut pandangnya si dia. Bisa kubilang Lamin ini orangnya nggak banyak tingkah sih, cukup normal-normal aja untuk ukuran rakyat yang mungki notabenenya juga merasa tertindas dengan kebijakan baru si Zaliman.
Namun ternyata Lamin juga punya rasa ingin tahu yang tinggi, terutama mengenai apa sebenarnya yang sedang ditutup-tutupi oleh Zaliman Yang Mulia, terutama mengenai masa lalunya. Selain larangan mengenai huruf E, ternyata Zaliman juga memburu habis-habisan sebuah naskah puisi yang diduga ingin menjelek-jelekkan diktator. Lamin dengan segala keterbatasan dan ketidaktahuannya pun tidak sadar bahwa dirinya semakin jauh semakin masuk ke sebuah jalinan rumit politik di Wiranacita.
Selain tokoh Lamin di sini masih banyak tokoh-tokoh lain seperti teman masa lalu Lamin, rekan kerja Lamin, dan juga calon istri yang sudah hidup serumah dengan Lamin. Kalau disuruh bahas seluruh karakter, aku punya satu kesamaan yang menggambarkan semua karakter yang ada di sini, yaitu semuanya tampak suram dan unpredictable.
Sekarang aku mau bahas hal-hal yang aku suka nih dari novel ini. Selain keindahan struktur menulis dan juga ketiadaan huruf E sama sekali di dalam novel ini, bisa kubilang tema yang diangkat juga cukup wow. Apalagi novel ini ternyata pernah memenangkan penghargaan Sayembara Menulis. Dan novel ini bisa kubilang juga cukup kental akan unsur politiknya, jadi sedikit nggak terduga gitu deh.
Membaca novel ini juga jadi ngingetin aku sama novel 1984, Fahrenheit 451, Laut Bercerita, dan beberapa novel-novel dengan genre politik atau distopia yang serupa. Karena bagaimana membaca novel ini, aku semacam disodorkan oleh perasaan chaos dan terbatasnya kehidupan yang sedang dialami oleh warga Wiranacita.
Selain itu nggak ketinggalan dengan bagaimana plot twist di novel ini yang kayaknya tuh nggak ada habis-habisnya, hahaha. Membaca novel ini juga bikin aku ngerti, kenapa novel ini diberi judul CADL bahkan kenapa pakai gambar pisang yang superbesar untuk covernya. Pokoknya kamu harus siap-siap aja deh dengan banyaknya plot twist yang beneran wow! Yang otomatis novel ini tuh menjadikanku mengkategorikannya sebagai novel yang di luar ekspektasi, bahkan melebihi ekspektasiku!
Sementara untuk hal yang kurang kusuka, mungkin ini sedikit berkaitan dengan kepenulisan yang ada di dalam sini. Karena beberapa kata, contohnya seperti nama-nama hari & angka, nggak ada sinonimnya, otomatis penulis semacam membuat "aturan" tersendiri di dalam sini. Ya... mau nggak mau lah ya. Karena nggak ada penggantinya juga jadi harus kreatif sedikit. Dan juga mungkin untuk beberapa kata tampak dipaksakan, dan ini juga cukup banyak yang bilang begini di Goodreads. Meskipun aku akui lewat novel ini aku jadi bisa untuk belajar kosakata juga.
Oke itu tadi adalah reviewku mengenai novel CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E yang ditulis oleh Triskaidekaman. Buat kamu yang sudah baca, share dong opini dan pengalaman membacanya.
Aku akhiri dulu blognya sampai sini dan kita akan ketemu lagi di blog yang akan datang, ya! Dadah!~
Komentar
Posting Komentar