Di bulan April ini aku baru menyelesaikan satu novel distopia yang aku baca bareng dengan beberapa teman lain untuk didiskusikan secara spoiler, dan setelah aku selesai membacanya aku merasakan lonjakan emosional yang betubi-tubi yang bikin aku capek ketika bacanya.
Emangnya buku apa tuh? Nah buku yang mau aku bahas kali ini yaitu The School for Good Mothers yang ditulis oleh Jessamine Chan. Dan untuk yang aku baca ini adalah versi terjemahan yang diterbitkan oleh Elex Media.
Kalau kamu penasaran gimana impresiku terhadap novel ini langsung saja yuk kita mulai ke reviewnya!
Novel ini bercerita tentang Frida Liu, seorang ibu yang pada suatu hari karena tuntutan pekerjaan memutuskan untuk keluar dan meninggalkan anaknya yang masih balita, kurang lebih 1 tahun lebih, di rumahnya selama dua jam. Tetangganya yang melihat ketidakhadiran Frida lantas melapor ke polisi.
Singkat cerita Frida pun akhirnya melalui serangkaian interogasi dan rangkaian persidangan yang membuat dirinya semakin dijauhkan dengan anaknya yang bernama Harriet.
Hingga di satu titik final, pengadilan akhirnya memutuskan untuk memasukkan Frida ke sebuah sekolah atau kamp yang mana di tempat itu disediakan pelatihan untuk menjadi ibu yang baik, atau sesuai dengan judulnya: The School for Good Mothers.
Demi kembali mendapatkan hak asuhnya, Frida pun rela melakukan pelatihan itu selama setahun penuh. Lalu apakah Frida bisa kembali mendapatkan hak asuhnya serta bagaimana tindakan para orang di sekitarnya? Kamu bisa baca sendiri di novel nya ya!
Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga yang akan berfokus pada Frida sebagai tokoh utama. Lewat narasi yang deskriptif ini kita bisa tahu bagaimana keadaan Frida yang mana di bagian awal kita langsung dibuat pusing tujuh keliling.
Meskipun menggunakan sudut pandang orang ketiga, kita para pembaca tetap bisa memasuki pikiran-pikiran Frida khususnya di bagian-bagian awal, di mana Frida yang tampak axious, stres, atau bahkan di satu titik cukup depresif.
Aku suka dengan bagaimana pemilihan diksi serta bagaimana penulisnya membangun suasana sedari kalimat pembuka, yang rasa-rasanya tuh langsung menyulut emosi pembaca. Sedikit FYI, ketika membaca buku ini aku baru pulang dari maraton jalan kaki 10 km, dan waktu itu kondisinya lagi bulan puasa. Dan ketika membaca buku ini dengan ekspektasi untuk mendapat hiburan, alih-alih aku justru dibuat emosi ketika membacanya. Jadi make sure kamu cek juga trigger warningnya ya!
Alur di novel ini bergerak secara maju di mana kita akan langsung dihadapkan dengan Frida yang sedang bercakap dengan seorang polisi untuk mengonfirmasi dirinya yang meninggalkan Harriet tersebut. Dan peristiwa yang menyusul setelah itu ternyata cukup rumit dan bikin pusing yang bikin aku merasa "wait, wait, wait, sabar dulu hey satu satu!" saking banyaknya informasi yang langsung disodorin ke pembaca.
Bisa kubilang alurnya sebenernya ada dalam phase yang pas. Nggak terlalu cepat atau terlalu lambat. Cuma memang buat kamu yang suka jenuh dengan buku dengan bab yang panjang-panjang, sepertinya buku ini kurang cocok buat kamu. Apalagi di tiap bab, selalu ada saja hal yang bikin emosi kamu makin tersulut lagi.
Untuk tokoh-tokoh di sini sebenernya ada banyak banget. Selain Frida kita juga akan diperkenalkan dengan mantan suaminya yang sekarang menikah lagi dengan seorang wanita bernama Susanna. Kemudian ada juga beberapa tokoh baru yang Frida temui seiring dia berada di sekolah atau kamp itu tadi.
Aku suka dengan bagaimana penulis benar-benar menyajikan karakter yang super beragam itu di dalam sini yang bener-bener bikin ceritanya hidup. Tapi at some point aku merasa penulis terlalu banyak memasukkan nama tokoh dan sifat karakter yang baru. bahkan penulis selalu menjelaskan ciri-ciri fisik masing-masing tokoh yang menurut aku, cukup bikin kewalahan.
Untuk tokoh Frida sendiri jujur aku salut banget dengan dia. Meskipun dia nggak nunjukkin kalau dia bener-bener stres, tapi aku kalau jadi frida kayaknya juga bakalan nggak sanggup lagi menghadapi banyaknya ketidakadilan yang menimpa dirinya. Oh ya, FYI, Frida sendiri di sini digambarkan sebagai keturunan Tionghoa yang mana kita sendiri tahu lah ya gimana reaksi orang Amerika terhadap orang imigran, yang tentu semakin menyulitkan frida untuk menemui titik terang terhadap kasusnya sendiri.
Sekarang aku mau bahas hal yang aku suka di sini, yang pertama adalah bagaimana penulis di sini rasa-rasanya benar-benar menyampaikan isi hati atau pikiran seorang ibu yang mungkin selama ini mereka alami. Lewat buku ini juga aku jadi bisa menghargai sosok ibu, karena perjuangan mereka demi anak tuh bener-bene nggak ada batasnya.
Dan juga aku suka dengan konsep sekolah di sini yang mana membawakan pelajaran-pelajaran parenting yang menurut aku bisa juga diterapkan, bahkan untuk pembaca cowok. Jadi di sini kita bakalan ngikutin juga tuh kegiatan belajar mengajar di sekolah itu yang mana juga tentu saja menyajikan materi cara menjadi ibu yang baik.
Sementara untuk hal yang aku kurang suka di novel ini, kayaknya bukan pure aku nggak suka, tapi ini lebih ke bagaimana penulis benar-benar sanggup menguras tenaga dan emosiku ketika membaca buku ini. Tapi jikalau memang itu yang dimaksudkan oleh si penulis, itu artinya penulis benar-benar sukses menghadirkan cerita sedemikian rupa.
Dan ini akan berlanjut ke poin terakhir alias rating, aku mau kasih buku ini 4 dari 5 bintang. Meskipun cukup menguras emosi, bahkan kayaknya tiap bagian tuh bener-bener ada aja yang bikin emosi, seenggaknya ada bagian yang bisa diambil lah ya dari buku ini, alias ilmu parenting yang diajarkan di kursus tersebut.
Lagi-lagi ini sedikit peringatan karena kuyakin buku ini nggak cocok buat semua orang, jadi pastiin kamu cek trigger warningnya dulu ya! Dan mungkin menurut aku juga, sebaiknya kamu cek kondisi mental kamu alias kamu harus mempersiapkan mental sebelum baca buku ini. Pastiin jangan di kondisi capek, emosi, atau yang butuh istirahat. Karena jujur novel ini draining banget sampai halaman terakhir!
Oke itu tadi adalah reviewku mengenai The School for Good Mothers yang ditulis oleh Jessamine Chan. Ketika selesai membaca dan mendiskusikan novel ini dengan teman-teman yang lain, mereka semua juga merasa emosi dengan novel yang satu ini.
Gimana dengan kamu yang sudah baca, apakah juga merasakan hal yang serupa? Bisa tulis di kolom komentar di bawah ya! Aku akhiri dulu blognya sampai sini, terima kasih banyak yang sudah baca, dan kita akan ketemu di review-review selanjutnya! Dadah!
Komentar
Posting Komentar